Sunday, August 30, 2009

Anggaran Kecil Tetap Sukses?

Little Budget Yet Succeed?
..
.Manaek Simamora*)
..
Keberhasilan peluncuran produk-produk inovatif secara konsisten ternyata tidak selalu berkorelasi positif dengan besarnya anggaran riset atau pengembangan produk yang digelontorkan. Tidak mungkin tidak sulit menemukan contoh kasus suatu lembaga riset atau pusat penelitian publik tertentu di Indonesia dimana suatu investasi dalam kategori  pengembangan produk dengan biaya lebih dari Rp. 300 jutaan, misalnya, tidak membawa hasil konkrit apapun ke pasar dan tidak bahkan tidak punya target produk atau hasil riset apa yang akan diluncurkan ke pasar lima tahun ke depan. Kita barangkali dapat pula menemukan adanya suatu lembaga riset publik melakukan puluhan bahkan ratusan kegiatan riset dan pengembangan dalam kategori ini dilakukan bertahun-tahun, misalnya dilihat dari  jumlah lisensi yang tercipta dan/atau  produk yang diproduksi perusahaan berbasis teknologi lembaga riset publik tersebut.

Rendahnya anggaran untuk pengembangan dan difusi inovasi tidak selalu menjadi penyebab mandulnya kinerja adopsi inovasi dari suatu lembaga riset atau pusat riset publik seperti digambarkan diatas. Menurut penulis, dalam banyak kasus lemahnya pelaksanaan Good Governance terutama aspek transparansi, professionalisme, dan akuntablilitas menjadi faktor yang sangat menentukan.
.
Penulis punya pengalaman turut memfasilitasi komersialisasi suatu hasil riset sampai dapat diadopsi pengguna/pasar (lisensi) dalam jangka waktu kurang dari dua tahun dan dengan biaya tidak lebih dari Rp. 40 juta! Tampaknya proses pelembagaan proses pengelolaan inovasi seperti ini masih perlu mendapat dukungan dari para eksekutif yang mempunyai komitment tinggi agar hasil lembaga riset publik tersebut benar-benar berdampak bagi masyarakat luas pada umumnya dan industri pada khususnya.

Ternyata keberhasilan membawa ide sampai ke pasar dengan investasi kecil tersebut bukanlah merupakan sesuatu yang aneh atau kebetulan. Praktek ini telah menjadi salah satu praktek manajemen inovasi yang lazim dilakukan oleh perusahaan dan lembaga riset bahkan yang besar sekalipun seperti P&G dan Lucent Technology.

Menurut Anthony, dkk. (2008), perancangan dan eksekusi aktifitas pengembangan produk berbasis pengetahuan adalah dengan membuatnya sesederhana dan semurah mungkin. Hal ini dilakukan dengan melakukan investasi sedikit dan mengambil pembelajaran yang banyak dari investasi tersebut; bukan langsung investasi pengembangan besar dengan sedikit pembelajaran.

Untuk melaksanakan pendekatan ’invest sedikit dan belajar banyak’ ini, beberapa hal berikut dapat dipertimbangkan:

• Buat prototip fungsional (diuji pada lingkungan sebenarnya vs. hanya dipajang di lab) sebelum Anda memproduksi produk;
• Lakukan pengujian teknis dan pasar skala kecil sebelum memutuskan investasi yang lebih besar;
• Pinjam (misalnya sarana dan prasarana produksi) sebelum membeli atau membangunnya;
• Kontrak (mis. tenaga kerja) sebelum merekrutnya;
• Alih daya sebelum buat produksi sendiri; dan
• Lakukkan riset sebelum mengeksekusi produksi atau peluncuran.


Bagaimana Wright bersaudara menguji asumsi-asumsi kunci yang mendasari peluncuran pesawat terbang versi terdahulu merupakan contoh keberhasilan pendekatan di atas ”Buat sederhana dan buat itu murah” (Keep it simple, keep it cheap). Mereka membangun model skala kecil. Pendekatan ini memungkinkan mereka dengan cepat membuat desain-desain dan mengambil pembelajaran tanpa mengorbankaan jiwa mereka.

Perusahaan-perusahaan sering melakukan percobaan-percobaan yang tidak mahal sebelum membuat komitmen investasi yang lebih besar. Percobaan-percobaan ini biasanya dilakukan dengan cepat dan berulang-ulang sampai ditemukan definisi produk sesuai dengan persyaratan pengguna. Dalam mendukung proses ini Anda dapat mengeksplorasi opsi-opsi berikut:

• Lokalisasi peluncuran pada suatu area geografis tertentu saja;
• Gunakan karyawan untuk penggunaan produk versi beta;
• Gunakan ”prediksi pasar,” dimana peserta membeli dan menjual ”saham” dalam strategi seolah-olah ada saham yang diperdagangkan;
• Lemparkan ide Anda kepada teman-teman dan keluarga’
• Tinggallah (misalnya) satu hari ”dalam kehidupan pengguna”;
• Jelajahi informasi publik yang tersedia di jaringan Internet;
• Bicaralah dengan pemodal ventura, ahli industri, atau pengusaha; dan
• Lakukan riset terhadap upaya-uapaya yang sejenis.


Melalui opsi-opsi di atas maka kita dapat melakukan dengan cepat pembuatan prototip dan pengujian konsep bisnis dengan biaya tidak mahal dan mengujinya langsung dengan pengguna sebenarnya untuk melihat apakah permasalahan pengguna dapat teratasi dengan produk tersebut.

Berbeda dengan praktek pengembangan produk di lembaga penelitian dan pengembangan publik tertentu seperti di Indonesia dimana masih terdapat kecenderungan birokratisasi inovasi; tidak jarang para penelitinya, karena sistem penganggaran dan pelaporan yang sedemikian rupa dan pola manajemen yang berorientasi inovasi belum terbangun, sering aktifitas pembuatan prototip, uji teknis dan uji pasar hanya dilakukan sekali dalam setahun (tidak berulang). Praktik seperti ini dapat mengakibatkan paling sedikit dua hal. Pertama, produk tidak sesuai dengan spesifikasi pengguna karena masih dalam bentuk prototip yang belum teruji. Kedua, waktu yang diperlukan untuk sampai ke pasar menjadi sangat lambat atau bahkan tidak sampai sama sekali—pembelajaran atau masukan dari pengguna tidak diperoleh dan tidak diakomodir..

Perusahaan besar yang mempunyai sumberdaya yang besar sekalipun, seperti P&G, mempunyai kebiasaan melakukan ”mantra” Investasi Kecil dan Pelajari Banyak (dari investasi kecil) tersebut. Dengan pendekatan ini, perusahaan berhasil secara berkelanjutan meluncurkan produk-produk inovatif ke pasar. Kelihatannya perusahaan dan lembaga litbang publik di Indonesia juga perlu melaksanakan pendekatan Investasikan Kecil dan Pelajari Banyak ini. Dengan demikian anggaran penelitian yang sedikit itu dapat diarahkan untuk menciptakan produk-produk yang dibutuhkan oleh pengguna. Pendekatan seperti pembuatan prototip (cepat dan berulang—bukan sekali saja setahun!), pengujian teknis dan uji produk langsung kepada pengguna dan beberapa opsi-opsi yaang disebutkan di atas akan dapat membantu sehingga hasil riset atau produk tersebut benar-benar memenuhi kebutuhan pengguna.

Lantas mengapa belum banyak manajemen lembaga riset publik yang mencoba melakukan pendekatan ”investasi kecil dan belajar banyak” tersebut? Pelaksanaan tata kelola pemerintahan yang baik masih perlu ditingkatkan implementasinya. Kinerja lembaga riset publik tersebut diukur dengan mempertimbangkan prinsip-prinsip utama good governance seperti transparansi, professionalisme, dan akuntabilitas. Prinsip akuntabilitas misalnya harus dilihat lebih dari sekadar pemenuhan aspek formatilitas; tetapi pada pencapaian misi yang sebenarnya seperti terjadinya alih teknologi kepada pihak lain di luar lembaga riset tersebut, meningkatnya kemampuan kemandirian pendanaan kegiatan riset antara lain dari pengembalikan dana-dana inovasi yang digunakan menginkubasi hasil riset, biaya lisensi, royalti, dan dana-dana kerjasama pemanfaatan hasil riset lainnya.

Ketika akuntabilitas hanya diukur dari pemenuhan aspek formalitas semata, maka tidak jarang terjadi kinerja nyata suatu organisasi baik itu perusahaan, lembaga riset publik, atau LSM tersebut menjadi tidak terukur atau tidak nyata--tetapi malah dapat menciptakan ketergantungan pendanaan publik dari pajak rakyat yang semakin tinggi, dan dapat terjebak dalam vicious circle. Dalam sistem seperti ini maka pendekatan ”investasi sedikit dan belajar banyak” juga menjadi sulit dilakukan. Mengapa? Karena pendekatan tersebut harus dilaksanakan dengan prinsip-prinsip good governance!

Penerapan pendekatan Invest a Little Learn a Lot dan prinsip-prinsip Good Governance terbukti merupakan salah satu praktek manajemen inovasi terbaik oleh berbagai perusahaan yang secara konsisten meluncurkan produk-produk inovatif ke pasar. Pendekatan tersebut dapat menjamin terbangunnya portofolio teknologi dan produk yang memberikan solusi terhadap permasahalan atau memenuhi kebutuhan pengguna atau pasar. Tidak ada salahnya juga bila lembaga-lembaga riset publik di Indonesia mengadopsi pendekatan ini. Bukankah hasil riset juga pada akhirnya ditujukan untuk memenuhi kebutuhan pasar?
---oOo---

Tulisan ini banyak diilhami oleh Anthony, S.D., Sinfield J.V., Johnson, M.W., dan Altman, E.J. (2008) dalam bukunya "The Innovator’s Guide to Growth: Putting Disruptive Innovation to Work," Harvard Business Press, Boston


*) Manaek Simamora
Pusat Inovasi LIPI
Jl. Gatot Subroto No. 10, JAKARTA 12710
Telp./Fax: 021-5276023/5276024
manaek@yahoo.com, manaek@inovasi.lipi.go.id

No comments:

Post a Comment