Sunday, August 30, 2009

Anggaran Kecil Tetap Sukses?

Little Budget Yet Succeed?
..
.Manaek Simamora*)
..
Keberhasilan peluncuran produk-produk inovatif secara konsisten ternyata tidak selalu berkorelasi positif dengan besarnya anggaran riset atau pengembangan produk yang digelontorkan. Tidak mungkin tidak sulit menemukan contoh kasus suatu lembaga riset atau pusat penelitian publik tertentu di Indonesia dimana suatu investasi dalam kategori  pengembangan produk dengan biaya lebih dari Rp. 300 jutaan, misalnya, tidak membawa hasil konkrit apapun ke pasar dan tidak bahkan tidak punya target produk atau hasil riset apa yang akan diluncurkan ke pasar lima tahun ke depan. Kita barangkali dapat pula menemukan adanya suatu lembaga riset publik melakukan puluhan bahkan ratusan kegiatan riset dan pengembangan dalam kategori ini dilakukan bertahun-tahun, misalnya dilihat dari  jumlah lisensi yang tercipta dan/atau  produk yang diproduksi perusahaan berbasis teknologi lembaga riset publik tersebut.

Rendahnya anggaran untuk pengembangan dan difusi inovasi tidak selalu menjadi penyebab mandulnya kinerja adopsi inovasi dari suatu lembaga riset atau pusat riset publik seperti digambarkan diatas. Menurut penulis, dalam banyak kasus lemahnya pelaksanaan Good Governance terutama aspek transparansi, professionalisme, dan akuntablilitas menjadi faktor yang sangat menentukan.
.
Penulis punya pengalaman turut memfasilitasi komersialisasi suatu hasil riset sampai dapat diadopsi pengguna/pasar (lisensi) dalam jangka waktu kurang dari dua tahun dan dengan biaya tidak lebih dari Rp. 40 juta! Tampaknya proses pelembagaan proses pengelolaan inovasi seperti ini masih perlu mendapat dukungan dari para eksekutif yang mempunyai komitment tinggi agar hasil lembaga riset publik tersebut benar-benar berdampak bagi masyarakat luas pada umumnya dan industri pada khususnya.

Ternyata keberhasilan membawa ide sampai ke pasar dengan investasi kecil tersebut bukanlah merupakan sesuatu yang aneh atau kebetulan. Praktek ini telah menjadi salah satu praktek manajemen inovasi yang lazim dilakukan oleh perusahaan dan lembaga riset bahkan yang besar sekalipun seperti P&G dan Lucent Technology.

Menurut Anthony, dkk. (2008), perancangan dan eksekusi aktifitas pengembangan produk berbasis pengetahuan adalah dengan membuatnya sesederhana dan semurah mungkin. Hal ini dilakukan dengan melakukan investasi sedikit dan mengambil pembelajaran yang banyak dari investasi tersebut; bukan langsung investasi pengembangan besar dengan sedikit pembelajaran.

Untuk melaksanakan pendekatan ’invest sedikit dan belajar banyak’ ini, beberapa hal berikut dapat dipertimbangkan:

• Buat prototip fungsional (diuji pada lingkungan sebenarnya vs. hanya dipajang di lab) sebelum Anda memproduksi produk;
• Lakukan pengujian teknis dan pasar skala kecil sebelum memutuskan investasi yang lebih besar;
• Pinjam (misalnya sarana dan prasarana produksi) sebelum membeli atau membangunnya;
• Kontrak (mis. tenaga kerja) sebelum merekrutnya;
• Alih daya sebelum buat produksi sendiri; dan
• Lakukkan riset sebelum mengeksekusi produksi atau peluncuran.


Bagaimana Wright bersaudara menguji asumsi-asumsi kunci yang mendasari peluncuran pesawat terbang versi terdahulu merupakan contoh keberhasilan pendekatan di atas ”Buat sederhana dan buat itu murah” (Keep it simple, keep it cheap). Mereka membangun model skala kecil. Pendekatan ini memungkinkan mereka dengan cepat membuat desain-desain dan mengambil pembelajaran tanpa mengorbankaan jiwa mereka.

Perusahaan-perusahaan sering melakukan percobaan-percobaan yang tidak mahal sebelum membuat komitmen investasi yang lebih besar. Percobaan-percobaan ini biasanya dilakukan dengan cepat dan berulang-ulang sampai ditemukan definisi produk sesuai dengan persyaratan pengguna. Dalam mendukung proses ini Anda dapat mengeksplorasi opsi-opsi berikut:

• Lokalisasi peluncuran pada suatu area geografis tertentu saja;
• Gunakan karyawan untuk penggunaan produk versi beta;
• Gunakan ”prediksi pasar,” dimana peserta membeli dan menjual ”saham” dalam strategi seolah-olah ada saham yang diperdagangkan;
• Lemparkan ide Anda kepada teman-teman dan keluarga’
• Tinggallah (misalnya) satu hari ”dalam kehidupan pengguna”;
• Jelajahi informasi publik yang tersedia di jaringan Internet;
• Bicaralah dengan pemodal ventura, ahli industri, atau pengusaha; dan
• Lakukan riset terhadap upaya-uapaya yang sejenis.


Melalui opsi-opsi di atas maka kita dapat melakukan dengan cepat pembuatan prototip dan pengujian konsep bisnis dengan biaya tidak mahal dan mengujinya langsung dengan pengguna sebenarnya untuk melihat apakah permasalahan pengguna dapat teratasi dengan produk tersebut.

Berbeda dengan praktek pengembangan produk di lembaga penelitian dan pengembangan publik tertentu seperti di Indonesia dimana masih terdapat kecenderungan birokratisasi inovasi; tidak jarang para penelitinya, karena sistem penganggaran dan pelaporan yang sedemikian rupa dan pola manajemen yang berorientasi inovasi belum terbangun, sering aktifitas pembuatan prototip, uji teknis dan uji pasar hanya dilakukan sekali dalam setahun (tidak berulang). Praktik seperti ini dapat mengakibatkan paling sedikit dua hal. Pertama, produk tidak sesuai dengan spesifikasi pengguna karena masih dalam bentuk prototip yang belum teruji. Kedua, waktu yang diperlukan untuk sampai ke pasar menjadi sangat lambat atau bahkan tidak sampai sama sekali—pembelajaran atau masukan dari pengguna tidak diperoleh dan tidak diakomodir..

Perusahaan besar yang mempunyai sumberdaya yang besar sekalipun, seperti P&G, mempunyai kebiasaan melakukan ”mantra” Investasi Kecil dan Pelajari Banyak (dari investasi kecil) tersebut. Dengan pendekatan ini, perusahaan berhasil secara berkelanjutan meluncurkan produk-produk inovatif ke pasar. Kelihatannya perusahaan dan lembaga litbang publik di Indonesia juga perlu melaksanakan pendekatan Investasikan Kecil dan Pelajari Banyak ini. Dengan demikian anggaran penelitian yang sedikit itu dapat diarahkan untuk menciptakan produk-produk yang dibutuhkan oleh pengguna. Pendekatan seperti pembuatan prototip (cepat dan berulang—bukan sekali saja setahun!), pengujian teknis dan uji produk langsung kepada pengguna dan beberapa opsi-opsi yaang disebutkan di atas akan dapat membantu sehingga hasil riset atau produk tersebut benar-benar memenuhi kebutuhan pengguna.

Lantas mengapa belum banyak manajemen lembaga riset publik yang mencoba melakukan pendekatan ”investasi kecil dan belajar banyak” tersebut? Pelaksanaan tata kelola pemerintahan yang baik masih perlu ditingkatkan implementasinya. Kinerja lembaga riset publik tersebut diukur dengan mempertimbangkan prinsip-prinsip utama good governance seperti transparansi, professionalisme, dan akuntabilitas. Prinsip akuntabilitas misalnya harus dilihat lebih dari sekadar pemenuhan aspek formatilitas; tetapi pada pencapaian misi yang sebenarnya seperti terjadinya alih teknologi kepada pihak lain di luar lembaga riset tersebut, meningkatnya kemampuan kemandirian pendanaan kegiatan riset antara lain dari pengembalikan dana-dana inovasi yang digunakan menginkubasi hasil riset, biaya lisensi, royalti, dan dana-dana kerjasama pemanfaatan hasil riset lainnya.

Ketika akuntabilitas hanya diukur dari pemenuhan aspek formalitas semata, maka tidak jarang terjadi kinerja nyata suatu organisasi baik itu perusahaan, lembaga riset publik, atau LSM tersebut menjadi tidak terukur atau tidak nyata--tetapi malah dapat menciptakan ketergantungan pendanaan publik dari pajak rakyat yang semakin tinggi, dan dapat terjebak dalam vicious circle. Dalam sistem seperti ini maka pendekatan ”investasi sedikit dan belajar banyak” juga menjadi sulit dilakukan. Mengapa? Karena pendekatan tersebut harus dilaksanakan dengan prinsip-prinsip good governance!

Penerapan pendekatan Invest a Little Learn a Lot dan prinsip-prinsip Good Governance terbukti merupakan salah satu praktek manajemen inovasi terbaik oleh berbagai perusahaan yang secara konsisten meluncurkan produk-produk inovatif ke pasar. Pendekatan tersebut dapat menjamin terbangunnya portofolio teknologi dan produk yang memberikan solusi terhadap permasahalan atau memenuhi kebutuhan pengguna atau pasar. Tidak ada salahnya juga bila lembaga-lembaga riset publik di Indonesia mengadopsi pendekatan ini. Bukankah hasil riset juga pada akhirnya ditujukan untuk memenuhi kebutuhan pasar?
---oOo---

Tulisan ini banyak diilhami oleh Anthony, S.D., Sinfield J.V., Johnson, M.W., dan Altman, E.J. (2008) dalam bukunya "The Innovator’s Guide to Growth: Putting Disruptive Innovation to Work," Harvard Business Press, Boston


*) Manaek Simamora
Pusat Inovasi LIPI
Jl. Gatot Subroto No. 10, JAKARTA 12710
Telp./Fax: 021-5276023/5276024
manaek@yahoo.com, manaek@inovasi.lipi.go.id

Saturday, August 22, 2009

INOVASI TEKNOLOGI: LIPI Terapkan Strategi Produksi Barang Jadi

Proof of Concept: LIPI's Strategy for Enhancing Innovation Adoption

Sumber Kompas, Selasa, 18 Agustus 2009--Rubrik Humaniora

Jakarta, Kompas - Untuk menunjang pengembangan inovasi teknologi makin meluas, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia menerapkan strategi memproduksi beberapa hasil riset hingga menjadi barang jadi. Masyarakat sebagai konsumen dan dunia industri sebagai produsen diharapkan lebih tertarik untuk mengimplementasikan hasil-hasil riset, baik yang berkaitan dengan persoalan lingkungan, kesehatan, maupun persoalan lainnya.

”Selama ini yang terjadi pada publikasi setiap hasil riset atau rekayasa teknologi, yaitu masyarakat ataupun industri belum diberi tahu bukti keandalan teknis atau penerimaan pasarnya,” kata Kepala Bidang Kerja Sama Komersial dan Pemanfaatan Hasil Penelitian pada Pusat Inovasi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Manaek Simamora, pekan lalu di Jakarta.

Manaek mengatakan bahwa produk barang jadi tersebut sekaligus menjadi bukti keandalan teknis dan penerimaan pasar. Untuk mewujudkan produk barang jadi berdasarkan hasil riset LIPI, digandenglah perusahaan-perusahaan kecil yang memiliki orientasi ingin tumbuh menjadi besar.

Beberapa contoh produk jadi yang dihasilkan perusahaan-perusahaan tersebut berdasarkan riset LIPI adalah mesin penghancur jarum suntik, penghemat bahan bakar kendaraan, pengolah limbah cair dengan teknologi ozon, teknologi pembuat ragi tempe, dan teknologi berbasis monascus untuk obat herbal penurun kolesterol.

”Lembaga-lembaga intermediasi yang memublikasikan hasil riset LIPI memang sangat penting. Namun, kami dihadapkan pada budaya industri yang tidak mau menempuh risiko tinggi dari sebuah hasil riset,” kata Manaek Simamora.

Budaya industri
Dia mengatakan, budaya industri kita terkait dengan iklim inovasi yang belum terwujud. Berbagai hasil riset kerap terhenti pada perolehan paten atau perolehan prototipe yang kerap dibawa ke mana-mana untuk pameran semata.

”Produk jadi dari hasil riset sekaligus sebagai eksperimen teknis dan eksperimen pasar,” ujar Manaek.

Kepala Pusat Inovasi LIPI Bambang Subijanto mengatakan, tujuan akhir dari sebuah riset memang berupa paten untuk melindungi hak atas kekayaan intelektual pihak bersangkutan. Paten menjadi perlindungan utama sekaligus untuk mendorong persaingan menuju teknologi yang makin disempurnakan.

Mengenai implementasi hasil riset, menurut Bambang, LIPI kini masih terus menggodok mekanisme yang juga berpihak bagi periset bersangkutan. Selama ini LIPI sebagai instansi pemerintah tidak diperkenankan berkecimpung ke dalam usaha untuk mencari pendapatan.

Hal itu pula yang menghambat implementasi hasil-hasil riset sehingga dibutuhkan mekanisme yang baru. Menurut Manaek, upaya memproduksi barang jadi dari hasil-hasil riset menjadi salah satu solusinya. (NAW)

Budget for Start Up Company—Why Bother

Mengapa Anggaran Sangat Penting Bagi Pebisnis Pemula
.
'
Bagi suatu perusahaan yang sudah mapan penyusunan anggaran sudah menjadi praktek yang lazim. Sementara perusahaan-perusahaan baru sering lebih menonjolkan proyeksi pendapatan yang bakal diperoleh. Demikian juga halnya dengan para wirausahawan baru sering kurang memberikan perhatian terhadap penganggaran ini.

Intuisi (otak kanan) mereka lebih mendominasi—menganggap penganggaran (budgeting) sebagai membatasi imajinasi dan fleksibilitas mengelola usaha. Salah satu alasan keengganan menyusun anggaran misalnya karena arus kas pada tahap awal sangat tidak dapat diprediksi—perubahan salah satu pesanan pelanggan penting dapat merubah perilaku arus kas bahkan bisnis membuat anggaran yang telah disusun seolah kehilangan makna atau relevansi.

Namun pengalaman menunjukkan bahwa para pengusaha pemula juga harus merencanakan anggaran perusahaan dengan matang. Anggaran tersebut dapat mengikat wirausahawan muda ini. Berikut diuraikan tiga alasan mengapa anggaran penting:

•Membantu dalam mengelola usaha. Apabila dilakukan dengan baik, anggaran dapat sangat berguna dalam menguji dan menajamkan kemampuan dalam peramalan dan pengeolaan usaha. Bila direksi suatu perusahaan suka menggunakan anggaran sebagai alat pertanggungjawaban para manajer; pimmpinan suatu perusahaan baru (start up) dapat menggunakan anggaran untuk menguji akurasi atau kebenaran (faktor-faktor) pendorong bisnis. Cara yang paling sederhana untuk melakukan ini adalah dengan membuat asumsi-asumsi kunc—seperti jumlah pelanggan baru, harga produk, dll.; kemudian ramalkan tahun berjalan tersebut setiap tiga bulan dengan memutakhirkan asumsi dengan kondisi terkini.

•Membantu dalam penggalanan dana. Ketika kita akan mencari sumber-sumber pembiayaan bisnis dari investor perorangan atau investor lembaga, adanya suatu anggaran menjadi hal yang sangat penting. Suatu investasi memerlukan adanya kondisi-kondisi dimana manajemen perusahaan harus memberikan atau menguraikan kebutuhan investasi dalam bentuk anggaran tahunan kepada komisaris atau investor. Mengapa demikian? Keberadaan anggaran membantu Anda untuk memenuhi atau melebihi harapan investor; sebaliknya dengan anggaran tersebut investor dapat mengetahui bagaimana peruntukan dana yang mereka tanamkan dalam perusahaan.

•Membantu mencegah kehabisan darah (dana). Resiko paling utama dari setiap perusahaan baru adalah kehabisan uang untuk membiayai operasional usaha—meski perusahaan, misalnya, membukukan keuntungan yang besar sekalipun! Pada umumnya para wirausahawan baru berada antara suatu kenyataan konservatif dan keadaan mimpi yang agressif sehingga memotivasi wirausahawan itu sendiri dan menginspirasi anggota perusahaan lainnya. Perlu diingat bahwa dalam menyusun suatu anggaran Anda harus memulai dengan pengeluaran; bukan pengeluaran. Pengeluaran ini lebih mudah diramalkan dan lebih mendekati kenyataan. Dengan demikian, Anda dapat mencegah kehabisan uang atau darah yang dapat berakibat pada bangkrutnya perusahaan.

Kita tidak jarang melihat para pengusaha-pengusaha baru dengan sangat antusias mempresentasikan proyeksi pendapatan dan keuntungan perusahaan YANG AKAN dikelola; tetapi sering kurang mampu mengungkap dengan baik jenis-jenis pengeluaran YANG HARUS dilakukan DALAM PERIODE tertentu. Tidak jarang pula kita mendengar atau bahkan mengalami dimana para “panelis” di lembaga-lembaga penelitian dan pengembangan publik dalam menyeleksi proposal-proposal bisnis yang akan dibiayai seperti Iptekda dan skema-skema insentif lainnya menanyakan "berapa ROI-nya?" atau "berapa BEP-nya" namun kurang memberikan perhatian yang cermat tentang pengeluaran apa saja YANG HARUS dilakukan dalam periode tertentu agar proyek binis tersebut dapat berkelanjutan. Tidak heran kalau klaim keberhasilan dari proyek-proyek tersebut sering sulit dipahami oleh para ‘pebisnis’ yang terbiasa dengan faktor ketidakpastian yang tinggi dimana hidupnya (pendapatannya) sepenuhnya tergantung pada bisnis yang sedang dikelola (vs. tingkat kepastian yang tinggi atas pendapatan bulanan di lembaga-lembaga publik!).

Penyusunan anggaran yang baik akan mempertimbangkan kedua aspek ini sehingga usaha baru yang dirintis dapat lebih tahan menghadapai bebagai fluktuasi yang pasti akan dihadapi.

Sudahkan Anda para pebisnis pemula telah menyusun anggaran perusahaan dengan cermat pada hari ini?

Manaek Simamora
Innovation Venture/
Pusat Inovasi-LIPI
manaek@inovasi.lipi.go.id, manaek@yahoo.com

Friday, August 14, 2009

Small and Medium Enterprises (SMEs) and Technology Incubation Program in Indonesia: Current Issues and Challenges

By
Manaek Simamora and Kurleni Ukar
Center for Innovation
Indonesian Institute of Sciences-LIPI
Sasana Widya Sarwono Lt. 1
Jl. Gatot Subroto No. 10, Jakarta 12710, INDONESIA
E-mail: manaek@yahoo.com, manaek@inovasi.lipi.go.id, nike@inovasi.lipi.goid


A Country Paper presented at the Consultation Workshop for a Project on “Stimulating Innovation, Entrepreneurship and Competitiveness of Small and Medium Enterprises Through Technology Incubation,” 2-4 July 2007, Kuala Lumpur, Malaysia, organized by SIRIM, Malaysia, Industrial Technology Institute, Srilanka, and IDRC, Canada. [The authors have made minor editing from original paper presented at the Workshop.]

EXECUTIVE SUMMARY
The significant magnitude contribution of SMEs to Indonesia’s economy is one of the consideration for the government of Indonesia to launch many policies and programs to support the enhancement of the competitiveness of SMEs. For exemple, Presidential Decree Number 30 of 2003 on government procurement of product and services give preferences for SMEs especially if the products and/or services are locally manufactured or produced and/or use local technology or intellectual property. Mid-Term National Development Plan (RPJM) 2005-2009 clearly specified the government commitment to strengthen SMEs, e.g., through the“development of science centers and actualization of incubator role and technical implementation units and Technopreneur development, such as development of new venture based on research results through technology incubator.”

In June 2007, the government launched a new policy to further accelerate the innovation capacity of the real sector and empower small and medium enterprises aimed, among other, at encouraging the growth of newly technology-based enterprises and establishment of center for innovation and for that purposes the government will support the establishment of Innovation Center for the expansion of entrepreneurship by optimizing the role or already existing institutions. Technology incubation program or even Iptekda program (if it is directed more to assist newly-technology based companies) can then play important role to help materialize the objective of this latest policy through creation of newly technology-based companies.

A closer look at the Indonesia’s industry structure suggest that in 2005, the number of SMEs consist of more than 99.8% of total number of enterprise and its contribution national GDP is more than 56% of total national GDP. On the other hand contribution of SMEs to total export value in 2005 is only 14.76% of the total (small enterprise: 3.75%, medium enterprise: 11.01%) which indicate low competitiveness of SMEs to compete in the global market. It is therefore necessary to enhance innovation capacity of the SMEs in Indonesia in order to increase its competitiveness. This is one of the reasons the government of Indonesia keep introducing policies and programs to stimulate this sector so as to strengthen its competitiveness level.

As has been recognized widely, innovation in its wide definition is one key to competitiveness. And in many cases, technology contribute in enhancing innovation capacity of the industry. It is along this line that technology incubation programs become an important mechanism to nurture and create the growth of newly-based technology companies especially the ones using research results and/or intellectual property from research institutes and universities.

Incubation program in Indonesia started in 1990 by running a pilot project called Pilot Business Incubator Indonesia assisted by UNDP. Since then the development of incubators in various part of Indonesia has grown supported by various government programs like Ministry of Research and Technology, Ministry of Industry, Ministry of National Education, and Ministry of Cooperative and SMEs empowerment. Up to now there has been around 33 incubators in Indonesia, six of them, to some extent, can be categorized as technology incubator and the other 26 as business incubators. These business incubators provide services such as training, mentoring, consultancy, etc. Most of them do not provide physical infrastructure to host technology-based company or tenants using its affiliation technology.

It is recognized that good coordination of technological-incubator programs in Indonesia needs to be improved so that they have significant impact to SMEs competitiveness. The issuance of Presidential Instruction Number 7 of 2007 for example through the establishment of Innovation Center for the promotion of entrepreneurship and innovation of SMEs by optimizing the role of existing institutions and facilitators is, among other, aimed at improving this coordination issue so as to ensuring implementation of government programs in a consistent manner and sustainably managed. Given the risky nature of establishment of newly technology-based companies through technology incubation program, required sustainable funding support from the government; while the management of technology incubator can obtain other sources of revenue from commercializing its professional services and possibly get a portion of technology transfer revenues (commercialization of which facilitated by technology incubator) from its affiliation.

The impact of technology incubation program in Indonesia has not been very encouraging. There are several factors that need to be considered in order technology incubation program in Indonesia achieved its mission, namely: (1) sustainable funding support, (2) consistent implementation of policies and programs, (3) active involvement of business professional in the incubator management—currently mostly managed by internal and technical people. It is expected that implementation of Presidential Instruction Number 7 of 2007 can address these issues. Especially for the third issue, it is necessary to conduct a series of capacity building program in order to enhance the professionalism of the incubator management. Experts and incubator practitioners from countries which has already succeeded nurture and develop technology incubator will also be very useful to be carried out. This capacity building program can also be conducted together with other Asian countries that might have similar problems with Indonesia. Cooperation with other regional or multilateral organization can accelerate implementation of this capacity building; however dependence of this source must be avoided.
--Ω--

Content
• Introduction
• Policy Aspects in Promoting Innovation to SMEs
• Incentive program stimulating linkages
• Profile of SMEs and Innovation Promotion
• Iptekda Program and SMEs
• Current Status of Technology Incubator Program
• Issues and Challenges of technology incubation development in Indonesia
• Recommendations

Full paper: 22 pages witth charts and tables.
Readers are invited to comment on this article. For those interested in this paper and want to have it, please make your request by sending e-mail to ventura.inovasi@gmail.com.


Friday, August 7, 2009

Supporting SME Innovation: The Role of Facilitators

By Syahrul Aiman and Manaek Simamora

Source: Competitiveness at the FRONTIER, July 2009, pp. 10-11, published by the Masters of Management Program, Faculty of Economics, University of Indonesia and SENADA, a four-year USAID-financed project, http://www.senada.or.id/
.
Governments have a clear interest in promoting innovation among small and medium enterprises. They can move this goal forward by creating an environment where supporting institutions can thrive.

Policy makers throughout the world have increasingly realized that innovation is key to national and regional economic competitiveness. Innovations can improve productivity and create job opportunities, ultimately leading to improved welfare of citizens.

Small and medium enterprises (SMEs) have a special role to play in this process. In 2005, 99.9 percent of Indonesia’s firms were SMEs or micro-enterprises, that together accounted for more than 56 percent of GDP. On the other hand, the contribution of SMEs to total exports was not quite 15 percent (about 4 percent by small enterprises and 11 percent by medium ones). This indicates that Indonesian SMEs have little ability to compete in global markets and suggests that support is needed to improve SME competitiveness, especially through enhancing their capability to innovate.

In general, SMEs are constrained by limited access to human resources (talent), capital, intellectual property (IP) and/or innovations, business networks, and infrastructure to promote innovation, such as science/technology parks and incubators. These constraints require serious attention from government and other stakeholders. They can be addressed in many ways, for example through entrepreneurship education programs at all levels, training, and innovation competitions. In particular, the government can work to ensure that supporting institutions offer the facilitation, mentoring, and intermediation services that SMEs require in order to innovate.

Polices to Encourage Innovation
Innovation need not be restricted to large companies. SMEs can access inventions and innovations even if they lack the facilities to conduct their own research, by turning to outside sources such as research institutions and other domestic or foreign companies. In addition, independent inventors and innovators in Indonesia are a rich potential source of innovations for SMEs. Data show that from 1971 to 2007, the majority of patent applications in Indonesia (52 percent) were submitted by individual or independent inventors and the remaining ones were registered by universities, R&D institutions, and private firms.

Ironically, many large companies such as IBM, Intel, Procter & Gamble, Shell and others that have the resources to conduct their own in-house R&D often excel at “open innovation,” taking advantage of inventions and innovations created by others. SMEs, especially in Indonesia, are less likely to practice this strategy.

Through supportive policies, governments can encourage SMEs to adopt innovation. For example, the Malaysian government gives incentives to companies that obtain licenses for foreign technology by bearing 50 percent of the license fee if the production or business activities are conducted in Malaysia. The Indonesian Government has also issued a policy, through Government Regulation (Peraturan Pemerintah) No. 35/2005, to encourage the creation of intellectual property and the adoption of innovation by giving incentives to businesses that meet certain requirements to conduct research that leads to innovations.

Building Intermediary Institutions
Facilitators and mentors can provide services that assist SMEs to create and implement innovation. The governments of OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development) member countries, China, and India are leaders in promoting the provision of such services. In Indonesia, the government provides support to mentors and facilitators, including but not limited to government and non-government R&D institutions, the University of Indonesia SME Center, and the Business Innovation Center (a young organization that strives to bring SMEs with innovative ideas together with potential investors).

However, these facilitators face several difficulties, in particular the limited availability of professional human resources. In addition, when the government serves as the direct provider of services, they will not be market-driven. Similarly, while the Corporate Social Responsibility (CSR) activities of large companies may be a source of mentoring, CSR programs are often limited to activities related to the core business of the company providing them.

Thus, support for institutions that offer facilitation and mentoring services must take these concerns into account. Efforts should be made to ensure that institutions have the funding and human resource capacity needed to provide professional integrated services. One strategy for accomplishing this is to provide services on a market-driven, sustainable basis: in other words, in exchange for fees that will be used to maintain and strengthen the facilitating institution.

An MSME Innovation Center
In 2008, the Government of Indonesia, through the Coordinating Minister for the Economy, established the Micro, Small and Medium Enterprise Innovation Center (PI-UMKM), which began operation in 2009 with the following primary missions:
• To grow and develop technological entrepreneurship (technopreneurship) among micro, small, and medium enterprises (MSMEs)
• To synergize efforts to develop innovative MSMEs
• To develop PI-UMKM and its network of partners as integral players in strengthening the Sub-national Innovation System (SIN) in the context of supporting a science-based economy in Indonesia
• To improve market access and information for MSMEs.

PI-UMKM works with a variety of public, private, and nonprofit partner institutions to carry out its goals, including universities, IPR centers, NGOs, and businesses. It selected 16 partners, out of a starting pool of 40, on a competitive basis, assessing the experience each institution had in successfully providing technical and management services to SMEs. These partners will provide integrated services in the areas of technology-based services, human resource capacity building, business network development, and facilitation of access to finance. The goal is to improve the support to organizations that provide services to SMEs, independent inventors, and innovators all along the “innovation chain” – an important step in building an ever-stronger Indonesian national innovation system.
--O--

About the Authors:

• Syahrul Aiman (co-author, “Supporting SME Innovation: The Role of Facilitators”) is the Deputy Chairman for Engineering Science, Indonesian Institute of Sciences-LIPI. He can be contacted at syahrul@lipi.go.id

• Manaek Simamora (co-author, “Supporting SME Innovation: The Role of Facilitators”) is the Head of Division for Business Development, Center for Innovation, Indonesian Institute of Sciences-LIPI. He can be contacted at manaek@yahoo.com, manaek@inovasi.lipi.go.id

Monday, May 25, 2009

National Innovation System of Indonesia: A Journey and Challenge(*)

By Syahrul Aiman (1), Lukman Hakim (2), and Manaek Simamora (1)

(1) Center for Innovation, Indonesian Institute of Sciences – LIPI, Jl. Gatot Subroto No. 10, Jakarta 12710, INDONESIA, E-mail: syahrul@inovasi.lipi.go.id, manaek@inovasi.lipi.go.id, manaek@yahoo.com
(2) Vice Chairman, Indonesian Institute of Sciences – LIPI, Jl. Gatot Subroto No. 10, Jakarta 12710, INDONESIA, E-mail:
lukman@lipi.go.id
.
(*) A paper presented in the first Asialic International Conference on ‘ Innovation Systems and Cluster : Challenges and Regional Integration’, Bangkok, Thailand, 1-2 April 2004.
.
ABSTRACT

Stage of the development of national innovation system of Indonesia is in infancy. The first official statement on the importance of development of national innovation system (NIS) can be found in Strategic Policy on Development of National Science and Technology initiated by the office of the Ministry of Science and Technology (MST). Two previous studies on NIS of Indonesia concluded that linkages amongst the elements of national innovation system in Indonesia were very weak. The concept and policies on national innovation system are still new for most of the representatives of the elements of the system. Further, agreement on which institution should be responsible to develop and coordinate the national innovation system has yet to reach. Perhaps this could explain why most policies related to innovation system are still based on sectoral approaches and interests. However, the government has made serious efforts to strengthen its NIS. This paper provides some highlights existing status of national innovation system of Indonesia and describes some challenges lie ahead.

Key words: National Innovation System, Indonesia, Linkages, Industry Cluster, Innovation Policy