Friday, July 9, 2010

Innovation system law needed to better utilize local inventions

The Jakarta Post

Thu, 07/08/2010 9:53 AM - National

The Research and Technology Ministry is currently drafting a bill on a national innovation system that, if passed into law, will be able to bridge the gap among researchers and businesspeople, seen as the main hindrance to the development of local technology.

Research and Technology Minister Suharna Surapranata said the draft will be completed by 2014 to be submitted to the House of Representatives for deliberation.

“The law is needed to regulate communication flows among research and technology stakeholders, such as industry, researchers, and the community,” he said during a meeting at the Tangerang-based Center of Science and Technology Research on Tuesday.

National Innovation Committee (KIN) secretary Freddy Permana Zen said the government-sponsored technology centers had made a number of innovations, including energy efficient cars and solar energy.

“The Agency for Assessment and Application of Technology (BPPT) has recently developed stoves that connect directly to LPG canisters, which is much safer.”

He added that the innovations had not yet been developed for mass manufacture and distribution.

“That is why we need a regulation to address the issue by, for instance, providing incentives for industry to have their own research and development divisions,” he added.

Five divisions under the Research and Technology Ministry will discuss ways to find resources and widen networks to facilitate research and technology. They will also push for the productivity of researchers and ensure their inventions are relevant and well utilized.

The National Innovation System was launched by President Susilo Bambang Yudhoyono this year to establish institutions that can push, support, disseminate and implement new innovations in many sectors.

Freddy said the 2002 Law on the National System of Research, Development and Application of Science and Technology had allowed the government to provide incentives to companies that spend more on research and development. A government regulation had been issued to implement the policy, but has been deemed ineffectual.

Manaek Simamora, the head of Commercial Cooperation and Research Utilization Division of the Indonesian Institute of Sciences, said the current 2002 National Research Systems Law and the government regulation were not enough to develop local technology.

“We need strong policy, to serve as a guideline for policy formulation in each sector,” he said.

Indonesia still fails to utilize its own natural resources due to slow technological development, he said.

“Indonesia has not yet fully utilized its coal resources for electricity [production] despite having an abundant supply. Instead of coal, Indonesia uses diesel for electricity, which is expensive,” he said. (map)

Source: http://www.thejakartapost.com/news/2010/07/08/innovation-system-law-needed-better-utilize-local-inventions.html

Saturday, May 22, 2010

Sukarelawan Sistem Inovasi Nasional Indonesia?

National Innovation System Strengthening--
Volunteers Wanted?

Kongres Indonesia (KINDO) 21 melontarkan gagasan perlu adanya apa yang disebut dengan Sukarelawan Sistem Inovasi Nasional Indonesia. Pemikiran ini muncul pada diskusi yang dilaksanakan pada hari Jum'at, 7 Mei 2010 di LIPI, Jakarta. Topik yang dibahas kali ini adalah Sistem Inovasi Nasional Indonesia. Para peserta diskusi merasakan perlunya para pihak terkait melakukan upaya-upaya ekstra dalam penguatan Sistem Inovasi Nasional Indonesia. Sinergi elemen masyarakat yang peduli dan Pemerintah sangat diharapkan dalam mengambil langkah-langkah konkrit secara sitematis dan berkesinambungan dalam penguatan SINAS Indonesia ini. Saling keterkaitan antar elemen inilah yang menjadi inti dari suatu sistem inovasi nasional.

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014 dalam bidang pembangunan Iptek telah menetapkan Penguatan Sistem Inovasi Nasional sebagai salah satu prioritas. Namun berbagai sektor terkait belum mempunyai pemahaman apalagi komitmen bersama untuk merealisasikannya. Para peserta mengakui bahwa adanya secara eksplisit prioritas penguatan Sinas Indonesia dalam RPJMN 2010-2014 merupakan suatu kemajuan yang sangat penting karena kapasitas inovasi telah menjadi faktor penentu daya saing yang pada gilirannya tingkat kesejahteraan suatu bangsa.

Contoh berbagai negara maju dan 'emerging countries' seperti Brazil, Russia, India, dan China telah membuktikannya. Keunggulan komparatif yang dimiliki suatu bangsa seperti Indonesia hanyalah salah satu faktor yang ternyata bahkan tidak selalu menjadi penentu daya saing. Korea Selatan, Finlandia, China, dan Taiwan adalah beberapa contoh negara yang daya saing industri nasionalnya melejit secara mencengangkan hanya dalam dua dekade terakhir ini. Penguasaan pengetahuan dan inovasi teknologi menjadi faktor penentu utama daya saing negara-negara tersebut.

Para peserta diskusi menyebutkan bahwa faktor kepemimpinan menjadi salah satu faktor yang tidak kalah pentingnya dalam penguatan kapasitas inovasi nasional tersebut. Peningkatan alokasi pendanaan salah satu input inovasi dalam bentuk Gross Expenditure on Research and Development (GERD) secara konsisten, misalnya, hanya dapat dilakukan dengan adanya Pemimpin yang berpihak pada capaian nasional jangka menengah dan panjang. China misalnya, GERD-nya dalam kurun waktu kurang dari dua dekade telah mencapai lebih dari 1,5% dari total GDP; Malaysia sekitar 0,5%; dan Indonesia pada kurun waktu yang sama mengalami penurunan dan menjadi 0,06% dari total GDP pada tahun 2008 (sekitar 1/10 dari GERD Malaysia!).

Potret salah satu indikator input inovasi ini menimbulkan kegalauan bagi para peserta diskusi terutama karena dirasakan hampir tidak ada indikasi adanya upaya konkrit untuk memperbaikinya. Dengan kondisi seperti ini dapat dipastikan penciptaan 'critical mass' yang menjadi daya ungkit penguatan inovasi hampir mustahil dapat dicapai.

Pembelajaran dari peluncuran program-program 'pro rakyat' yang populis dicoba diadaptasi terhadap advokasi kebijakan dan pelaksanaan program-program penguatan SINAS Indonesia. Seperti dimaklumi, indikator keberhasilan program 'pro rakyat' biasanya dapat dilihat atau diukur pada jumlah suara yang diperoleh pada saat pemilu, pilpres, dan pilkada; bukan pada indikator peningkatan kapasitas inovasi. Para peserta mencoba mengeksplorasi 'manfaat' jangka pendek (pada saat pemilu dan pilkada, misalnya) yang dapat dinikmati oleh para pengambil kebijakan. Program-program penguatan SINAS perlu dikemas, misalnya, dengan mengedepankan 'sisi populis' dari program itu seperti program kewirausahaan bagi para pemuda dan pengembangan UMKM. Program-program ini tentulah dapat memberikan 'citra' yang positif bagi para pemilik dan pelaku program yang hasilnya diharapkan dapat ditunggu pada saat pemilu, pilpres, atau pilkada. Dengan kata lain, kebijakan dan program sistem inovasi perlu dibumikan ke atas dan ke bawah.

Ada-ada aja memang. Tapi itulah, pemikiran-pemikiran 'kreatif' sering hadir karena dipengaruhi oleh keadaan yang sedang dihadapi.

Salah satu topik yang juga turut dibahas adalah fenomena ‘pembentukan’ komite dan sejenisnya oleh pengelola negara dalam mengaddress (menyikapi) suatu issu seperti penguatan kapasitas inovasi nasional. “Riak-Riak’ kelompok tertentu dalam pembentukan apa yang disebut Komite Inovasi Nasional merupakan suatu contoh. Pada hal langkah awal pencapaian suatu tujuan strategis berskala nasional haruslah didahului dengan pembahasan, penyusunan, dan penetapan strategi. Hanya setelah strategi ini sudah tergambar barulah diikitu dengan proses pembentukan organisasi yang sesuai dan alokasi sumber daya yang diperlukan.

Kegalauan inilah yang mendorong para peserta melontarkan pemikiran perlunya sukarelawan-sukarelawan dalam turut mendorong implementasi penguatan SINAS Indonesia secara konkrit dalam batas-batas kapasitas dan kompetensi yang dimilikinya. Tampaknya, Indonesia memerlukan banyak kelompok sukarelawan penguatan sistem inovasi tanpa harus tergantung atau menunggu upaya-upaya formal yang dilakukan oleh Pemerintah. Masa depan harus direbut bukan ditunggu, seperti kata Arifin Panigoro dalam bukunya Berbisnis Itu (tidak) Mudah, begitu barangkali prinsip para peserta.

Sebagai pendatang baru dalam kelompok diskusi ini, saya merasakan suatu atmosfir yang berbeda. Atmosfir ini tercipta dari ragam latar belakang para peserta, lintas sektor, usia, kombinasi swasta dan publik, pendidikan, professi—dari praktisi, ilmuwan, sampai petinggi partai. Para peserta hadir secara sukarela cukup dengan undangan melalui sms. Diskusi yang dimulai sekitar jam 17.00 harus diakhiri pukul 20.00 meski semangat berdiskusi para perserta tetap tinggi. Sungguh suatu jejaring inovasi yang terbangun secara alami oleh mereka yang peduli.

Akankah para sukarelawan inovasi dari KINDO 21 dapat memberikan bukti dari wacana ini? Konon para anggota KINDO 21 diajak bukan hanya bisa merasakan suatu issu atau persoalan tetapi juga diikuti dengan perbuatan. Bukankah Hidup Adalah Perbuatan? Semoga!

Sumber: http://sinasindonesia.blogspot.com/
Manaek Simamora
Center for Innovation, Indonesian Institute of Sciences - LIPI/
Association of Indonesian Business Incubators (AIBI)

Sunday, August 30, 2009

Anggaran Kecil Tetap Sukses?

Little Budget Yet Succeed?
..
.Manaek Simamora*)
..
Keberhasilan peluncuran produk-produk inovatif secara konsisten ternyata tidak selalu berkorelasi positif dengan besarnya anggaran riset atau pengembangan produk yang digelontorkan. Tidak mungkin tidak sulit menemukan contoh kasus suatu lembaga riset atau pusat penelitian publik tertentu di Indonesia dimana suatu investasi dalam kategori  pengembangan produk dengan biaya lebih dari Rp. 300 jutaan, misalnya, tidak membawa hasil konkrit apapun ke pasar dan tidak bahkan tidak punya target produk atau hasil riset apa yang akan diluncurkan ke pasar lima tahun ke depan. Kita barangkali dapat pula menemukan adanya suatu lembaga riset publik melakukan puluhan bahkan ratusan kegiatan riset dan pengembangan dalam kategori ini dilakukan bertahun-tahun, misalnya dilihat dari  jumlah lisensi yang tercipta dan/atau  produk yang diproduksi perusahaan berbasis teknologi lembaga riset publik tersebut.

Rendahnya anggaran untuk pengembangan dan difusi inovasi tidak selalu menjadi penyebab mandulnya kinerja adopsi inovasi dari suatu lembaga riset atau pusat riset publik seperti digambarkan diatas. Menurut penulis, dalam banyak kasus lemahnya pelaksanaan Good Governance terutama aspek transparansi, professionalisme, dan akuntablilitas menjadi faktor yang sangat menentukan.
.
Penulis punya pengalaman turut memfasilitasi komersialisasi suatu hasil riset sampai dapat diadopsi pengguna/pasar (lisensi) dalam jangka waktu kurang dari dua tahun dan dengan biaya tidak lebih dari Rp. 40 juta! Tampaknya proses pelembagaan proses pengelolaan inovasi seperti ini masih perlu mendapat dukungan dari para eksekutif yang mempunyai komitment tinggi agar hasil lembaga riset publik tersebut benar-benar berdampak bagi masyarakat luas pada umumnya dan industri pada khususnya.

Ternyata keberhasilan membawa ide sampai ke pasar dengan investasi kecil tersebut bukanlah merupakan sesuatu yang aneh atau kebetulan. Praktek ini telah menjadi salah satu praktek manajemen inovasi yang lazim dilakukan oleh perusahaan dan lembaga riset bahkan yang besar sekalipun seperti P&G dan Lucent Technology.

Menurut Anthony, dkk. (2008), perancangan dan eksekusi aktifitas pengembangan produk berbasis pengetahuan adalah dengan membuatnya sesederhana dan semurah mungkin. Hal ini dilakukan dengan melakukan investasi sedikit dan mengambil pembelajaran yang banyak dari investasi tersebut; bukan langsung investasi pengembangan besar dengan sedikit pembelajaran.

Untuk melaksanakan pendekatan ’invest sedikit dan belajar banyak’ ini, beberapa hal berikut dapat dipertimbangkan:

• Buat prototip fungsional (diuji pada lingkungan sebenarnya vs. hanya dipajang di lab) sebelum Anda memproduksi produk;
• Lakukan pengujian teknis dan pasar skala kecil sebelum memutuskan investasi yang lebih besar;
• Pinjam (misalnya sarana dan prasarana produksi) sebelum membeli atau membangunnya;
• Kontrak (mis. tenaga kerja) sebelum merekrutnya;
• Alih daya sebelum buat produksi sendiri; dan
• Lakukkan riset sebelum mengeksekusi produksi atau peluncuran.


Bagaimana Wright bersaudara menguji asumsi-asumsi kunci yang mendasari peluncuran pesawat terbang versi terdahulu merupakan contoh keberhasilan pendekatan di atas ”Buat sederhana dan buat itu murah” (Keep it simple, keep it cheap). Mereka membangun model skala kecil. Pendekatan ini memungkinkan mereka dengan cepat membuat desain-desain dan mengambil pembelajaran tanpa mengorbankaan jiwa mereka.

Perusahaan-perusahaan sering melakukan percobaan-percobaan yang tidak mahal sebelum membuat komitmen investasi yang lebih besar. Percobaan-percobaan ini biasanya dilakukan dengan cepat dan berulang-ulang sampai ditemukan definisi produk sesuai dengan persyaratan pengguna. Dalam mendukung proses ini Anda dapat mengeksplorasi opsi-opsi berikut:

• Lokalisasi peluncuran pada suatu area geografis tertentu saja;
• Gunakan karyawan untuk penggunaan produk versi beta;
• Gunakan ”prediksi pasar,” dimana peserta membeli dan menjual ”saham” dalam strategi seolah-olah ada saham yang diperdagangkan;
• Lemparkan ide Anda kepada teman-teman dan keluarga’
• Tinggallah (misalnya) satu hari ”dalam kehidupan pengguna”;
• Jelajahi informasi publik yang tersedia di jaringan Internet;
• Bicaralah dengan pemodal ventura, ahli industri, atau pengusaha; dan
• Lakukan riset terhadap upaya-uapaya yang sejenis.


Melalui opsi-opsi di atas maka kita dapat melakukan dengan cepat pembuatan prototip dan pengujian konsep bisnis dengan biaya tidak mahal dan mengujinya langsung dengan pengguna sebenarnya untuk melihat apakah permasalahan pengguna dapat teratasi dengan produk tersebut.

Berbeda dengan praktek pengembangan produk di lembaga penelitian dan pengembangan publik tertentu seperti di Indonesia dimana masih terdapat kecenderungan birokratisasi inovasi; tidak jarang para penelitinya, karena sistem penganggaran dan pelaporan yang sedemikian rupa dan pola manajemen yang berorientasi inovasi belum terbangun, sering aktifitas pembuatan prototip, uji teknis dan uji pasar hanya dilakukan sekali dalam setahun (tidak berulang). Praktik seperti ini dapat mengakibatkan paling sedikit dua hal. Pertama, produk tidak sesuai dengan spesifikasi pengguna karena masih dalam bentuk prototip yang belum teruji. Kedua, waktu yang diperlukan untuk sampai ke pasar menjadi sangat lambat atau bahkan tidak sampai sama sekali—pembelajaran atau masukan dari pengguna tidak diperoleh dan tidak diakomodir..

Perusahaan besar yang mempunyai sumberdaya yang besar sekalipun, seperti P&G, mempunyai kebiasaan melakukan ”mantra” Investasi Kecil dan Pelajari Banyak (dari investasi kecil) tersebut. Dengan pendekatan ini, perusahaan berhasil secara berkelanjutan meluncurkan produk-produk inovatif ke pasar. Kelihatannya perusahaan dan lembaga litbang publik di Indonesia juga perlu melaksanakan pendekatan Investasikan Kecil dan Pelajari Banyak ini. Dengan demikian anggaran penelitian yang sedikit itu dapat diarahkan untuk menciptakan produk-produk yang dibutuhkan oleh pengguna. Pendekatan seperti pembuatan prototip (cepat dan berulang—bukan sekali saja setahun!), pengujian teknis dan uji produk langsung kepada pengguna dan beberapa opsi-opsi yaang disebutkan di atas akan dapat membantu sehingga hasil riset atau produk tersebut benar-benar memenuhi kebutuhan pengguna.

Lantas mengapa belum banyak manajemen lembaga riset publik yang mencoba melakukan pendekatan ”investasi kecil dan belajar banyak” tersebut? Pelaksanaan tata kelola pemerintahan yang baik masih perlu ditingkatkan implementasinya. Kinerja lembaga riset publik tersebut diukur dengan mempertimbangkan prinsip-prinsip utama good governance seperti transparansi, professionalisme, dan akuntabilitas. Prinsip akuntabilitas misalnya harus dilihat lebih dari sekadar pemenuhan aspek formatilitas; tetapi pada pencapaian misi yang sebenarnya seperti terjadinya alih teknologi kepada pihak lain di luar lembaga riset tersebut, meningkatnya kemampuan kemandirian pendanaan kegiatan riset antara lain dari pengembalikan dana-dana inovasi yang digunakan menginkubasi hasil riset, biaya lisensi, royalti, dan dana-dana kerjasama pemanfaatan hasil riset lainnya.

Ketika akuntabilitas hanya diukur dari pemenuhan aspek formalitas semata, maka tidak jarang terjadi kinerja nyata suatu organisasi baik itu perusahaan, lembaga riset publik, atau LSM tersebut menjadi tidak terukur atau tidak nyata--tetapi malah dapat menciptakan ketergantungan pendanaan publik dari pajak rakyat yang semakin tinggi, dan dapat terjebak dalam vicious circle. Dalam sistem seperti ini maka pendekatan ”investasi sedikit dan belajar banyak” juga menjadi sulit dilakukan. Mengapa? Karena pendekatan tersebut harus dilaksanakan dengan prinsip-prinsip good governance!

Penerapan pendekatan Invest a Little Learn a Lot dan prinsip-prinsip Good Governance terbukti merupakan salah satu praktek manajemen inovasi terbaik oleh berbagai perusahaan yang secara konsisten meluncurkan produk-produk inovatif ke pasar. Pendekatan tersebut dapat menjamin terbangunnya portofolio teknologi dan produk yang memberikan solusi terhadap permasahalan atau memenuhi kebutuhan pengguna atau pasar. Tidak ada salahnya juga bila lembaga-lembaga riset publik di Indonesia mengadopsi pendekatan ini. Bukankah hasil riset juga pada akhirnya ditujukan untuk memenuhi kebutuhan pasar?
---oOo---

Tulisan ini banyak diilhami oleh Anthony, S.D., Sinfield J.V., Johnson, M.W., dan Altman, E.J. (2008) dalam bukunya "The Innovator’s Guide to Growth: Putting Disruptive Innovation to Work," Harvard Business Press, Boston


*) Manaek Simamora
Pusat Inovasi LIPI
Jl. Gatot Subroto No. 10, JAKARTA 12710
Telp./Fax: 021-5276023/5276024
manaek@yahoo.com, manaek@inovasi.lipi.go.id

Saturday, August 22, 2009

INOVASI TEKNOLOGI: LIPI Terapkan Strategi Produksi Barang Jadi

Proof of Concept: LIPI's Strategy for Enhancing Innovation Adoption

Sumber Kompas, Selasa, 18 Agustus 2009--Rubrik Humaniora

Jakarta, Kompas - Untuk menunjang pengembangan inovasi teknologi makin meluas, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia menerapkan strategi memproduksi beberapa hasil riset hingga menjadi barang jadi. Masyarakat sebagai konsumen dan dunia industri sebagai produsen diharapkan lebih tertarik untuk mengimplementasikan hasil-hasil riset, baik yang berkaitan dengan persoalan lingkungan, kesehatan, maupun persoalan lainnya.

”Selama ini yang terjadi pada publikasi setiap hasil riset atau rekayasa teknologi, yaitu masyarakat ataupun industri belum diberi tahu bukti keandalan teknis atau penerimaan pasarnya,” kata Kepala Bidang Kerja Sama Komersial dan Pemanfaatan Hasil Penelitian pada Pusat Inovasi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Manaek Simamora, pekan lalu di Jakarta.

Manaek mengatakan bahwa produk barang jadi tersebut sekaligus menjadi bukti keandalan teknis dan penerimaan pasar. Untuk mewujudkan produk barang jadi berdasarkan hasil riset LIPI, digandenglah perusahaan-perusahaan kecil yang memiliki orientasi ingin tumbuh menjadi besar.

Beberapa contoh produk jadi yang dihasilkan perusahaan-perusahaan tersebut berdasarkan riset LIPI adalah mesin penghancur jarum suntik, penghemat bahan bakar kendaraan, pengolah limbah cair dengan teknologi ozon, teknologi pembuat ragi tempe, dan teknologi berbasis monascus untuk obat herbal penurun kolesterol.

”Lembaga-lembaga intermediasi yang memublikasikan hasil riset LIPI memang sangat penting. Namun, kami dihadapkan pada budaya industri yang tidak mau menempuh risiko tinggi dari sebuah hasil riset,” kata Manaek Simamora.

Budaya industri
Dia mengatakan, budaya industri kita terkait dengan iklim inovasi yang belum terwujud. Berbagai hasil riset kerap terhenti pada perolehan paten atau perolehan prototipe yang kerap dibawa ke mana-mana untuk pameran semata.

”Produk jadi dari hasil riset sekaligus sebagai eksperimen teknis dan eksperimen pasar,” ujar Manaek.

Kepala Pusat Inovasi LIPI Bambang Subijanto mengatakan, tujuan akhir dari sebuah riset memang berupa paten untuk melindungi hak atas kekayaan intelektual pihak bersangkutan. Paten menjadi perlindungan utama sekaligus untuk mendorong persaingan menuju teknologi yang makin disempurnakan.

Mengenai implementasi hasil riset, menurut Bambang, LIPI kini masih terus menggodok mekanisme yang juga berpihak bagi periset bersangkutan. Selama ini LIPI sebagai instansi pemerintah tidak diperkenankan berkecimpung ke dalam usaha untuk mencari pendapatan.

Hal itu pula yang menghambat implementasi hasil-hasil riset sehingga dibutuhkan mekanisme yang baru. Menurut Manaek, upaya memproduksi barang jadi dari hasil-hasil riset menjadi salah satu solusinya. (NAW)

Budget for Start Up Company—Why Bother

Mengapa Anggaran Sangat Penting Bagi Pebisnis Pemula
.
'
Bagi suatu perusahaan yang sudah mapan penyusunan anggaran sudah menjadi praktek yang lazim. Sementara perusahaan-perusahaan baru sering lebih menonjolkan proyeksi pendapatan yang bakal diperoleh. Demikian juga halnya dengan para wirausahawan baru sering kurang memberikan perhatian terhadap penganggaran ini.

Intuisi (otak kanan) mereka lebih mendominasi—menganggap penganggaran (budgeting) sebagai membatasi imajinasi dan fleksibilitas mengelola usaha. Salah satu alasan keengganan menyusun anggaran misalnya karena arus kas pada tahap awal sangat tidak dapat diprediksi—perubahan salah satu pesanan pelanggan penting dapat merubah perilaku arus kas bahkan bisnis membuat anggaran yang telah disusun seolah kehilangan makna atau relevansi.

Namun pengalaman menunjukkan bahwa para pengusaha pemula juga harus merencanakan anggaran perusahaan dengan matang. Anggaran tersebut dapat mengikat wirausahawan muda ini. Berikut diuraikan tiga alasan mengapa anggaran penting:

•Membantu dalam mengelola usaha. Apabila dilakukan dengan baik, anggaran dapat sangat berguna dalam menguji dan menajamkan kemampuan dalam peramalan dan pengeolaan usaha. Bila direksi suatu perusahaan suka menggunakan anggaran sebagai alat pertanggungjawaban para manajer; pimmpinan suatu perusahaan baru (start up) dapat menggunakan anggaran untuk menguji akurasi atau kebenaran (faktor-faktor) pendorong bisnis. Cara yang paling sederhana untuk melakukan ini adalah dengan membuat asumsi-asumsi kunc—seperti jumlah pelanggan baru, harga produk, dll.; kemudian ramalkan tahun berjalan tersebut setiap tiga bulan dengan memutakhirkan asumsi dengan kondisi terkini.

•Membantu dalam penggalanan dana. Ketika kita akan mencari sumber-sumber pembiayaan bisnis dari investor perorangan atau investor lembaga, adanya suatu anggaran menjadi hal yang sangat penting. Suatu investasi memerlukan adanya kondisi-kondisi dimana manajemen perusahaan harus memberikan atau menguraikan kebutuhan investasi dalam bentuk anggaran tahunan kepada komisaris atau investor. Mengapa demikian? Keberadaan anggaran membantu Anda untuk memenuhi atau melebihi harapan investor; sebaliknya dengan anggaran tersebut investor dapat mengetahui bagaimana peruntukan dana yang mereka tanamkan dalam perusahaan.

•Membantu mencegah kehabisan darah (dana). Resiko paling utama dari setiap perusahaan baru adalah kehabisan uang untuk membiayai operasional usaha—meski perusahaan, misalnya, membukukan keuntungan yang besar sekalipun! Pada umumnya para wirausahawan baru berada antara suatu kenyataan konservatif dan keadaan mimpi yang agressif sehingga memotivasi wirausahawan itu sendiri dan menginspirasi anggota perusahaan lainnya. Perlu diingat bahwa dalam menyusun suatu anggaran Anda harus memulai dengan pengeluaran; bukan pengeluaran. Pengeluaran ini lebih mudah diramalkan dan lebih mendekati kenyataan. Dengan demikian, Anda dapat mencegah kehabisan uang atau darah yang dapat berakibat pada bangkrutnya perusahaan.

Kita tidak jarang melihat para pengusaha-pengusaha baru dengan sangat antusias mempresentasikan proyeksi pendapatan dan keuntungan perusahaan YANG AKAN dikelola; tetapi sering kurang mampu mengungkap dengan baik jenis-jenis pengeluaran YANG HARUS dilakukan DALAM PERIODE tertentu. Tidak jarang pula kita mendengar atau bahkan mengalami dimana para “panelis” di lembaga-lembaga penelitian dan pengembangan publik dalam menyeleksi proposal-proposal bisnis yang akan dibiayai seperti Iptekda dan skema-skema insentif lainnya menanyakan "berapa ROI-nya?" atau "berapa BEP-nya" namun kurang memberikan perhatian yang cermat tentang pengeluaran apa saja YANG HARUS dilakukan dalam periode tertentu agar proyek binis tersebut dapat berkelanjutan. Tidak heran kalau klaim keberhasilan dari proyek-proyek tersebut sering sulit dipahami oleh para ‘pebisnis’ yang terbiasa dengan faktor ketidakpastian yang tinggi dimana hidupnya (pendapatannya) sepenuhnya tergantung pada bisnis yang sedang dikelola (vs. tingkat kepastian yang tinggi atas pendapatan bulanan di lembaga-lembaga publik!).

Penyusunan anggaran yang baik akan mempertimbangkan kedua aspek ini sehingga usaha baru yang dirintis dapat lebih tahan menghadapai bebagai fluktuasi yang pasti akan dihadapi.

Sudahkan Anda para pebisnis pemula telah menyusun anggaran perusahaan dengan cermat pada hari ini?

Manaek Simamora
Innovation Venture/
Pusat Inovasi-LIPI
manaek@inovasi.lipi.go.id, manaek@yahoo.com